3.2 C
Munich
Sabtu, November 9, 2024

Belanja Pendidikan Turun, Apakah Pertanda Kondisi Pendidikan Di Tanah Papua Sudah Membaik??

Must read

JAKARTA,JAGATPAPUA.com— Berdasarkan data dari DJPK Kementrian Keuangan 2022, diketahui bahwa belanja urusan pendidikan dalam rangka melaksanakan Otsus Papua di Provinsi Papua diperkirakan turun sebesar 27,08 persen menjadi Rp1,30 triliun per tahunnya. Sementara di Papua Barat diperkirakan turun 16,64 persen menjadi Rp1,13 triliun per tahun.

Yang diperoleh dari DOK specific grant sebesar Rp612,36 milyar, DBH SDA Gas Alam sebesar Rp403,97 milyar, dan DBH SDA Minyak Bumi sebesar Rp119,95 milyar.

Turunnya belanja pendidikan ini menimbulkan keresahan publik dan menyisakan pertanyaan, apakah hal itu menunjukkan bahwa pendidikan di tanah Papua sudah membaik?

Senator Filep Wamafma Selasa (11/10/2022) memberikan kritik menohok terkait hal ini. “kita sama-sama tahu bahwa ada kesenjangan di ranah pendidikan baik akses maupun mutu antara kondisi pendidikan di Tanah Papua dengan daerah lain.

Data BPS menunjukkan dalam 5 tahun terakhir (2017 s.d 2021), Angka Partisipasi Sekolah (APS) tingkat SD dan SMP di Papua dan Papua Barat masih merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.Bahkan masih dibawah rata-rata APS Nasional.

“Masalah ini kan berdampak pada IPM Orang Papua yang selalu terendah. Kalau begitu, mengapa justru belanja pendidikan ini diturunkan?,”tanya Filep.

Anggota DPD RI ini menyoroti permasalahan pendidikan di Papua ini melalui peruntukan belanja pendidikan.

“Sekarang coba kita jujur, di Papua dan Papua Barat, porsi belanja pegawai masih mendominasi dengan persentase tertinggi selama 5 tahun terakhir (2017 s.d 2021),”kata senator Filep.

Sebagai misal, data yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa di Papua, rata-rata persentase belanja urusan pendidikan tertinggi yaitu belanja pegawai (41,83%), diikuti belanja barang dan jasa (15,72%), belanja modal sebesar 18,90 persen, dan belanja lainnya sebesar 23,55 persen.

Pola belanja yang sama juga dipraktekkan di Papua Barat, dimana rata-rata belanja pegawai (41,16%), diikuti belanja barang dan jasa (25,21%), belanja modal (17,93%), dan belanja lainnya (15,70%). Besarnya porsi belanja yang dipraktekkan menunjukkan bahwa, fokus belanja masih diarahkan pada belanja operasional dan adminstrasi pegawai.

“Kalau porsi belanja pegawai begitu besar, ya tentu saja pendidikan di Papua tidak bisa maju”, tegas Filep.

“Apakah pemerintah tidak sadar bahwa angka putus sekolah masih tinggi di Papua? Tahun 2021, angka putus sekolah pendidikan dasar di Tanah Papua merupakan yang terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur,”tuturnya

Begitu pula pada tingkat SMP baik di Papua maupun Papua Barat yang tidak melanjutkan pendidikan.

Ini menunjukkan bahwa, anak usia sekolah yang telah memiliki akses layanan pendidikan pun, masih rentan untuk terlempar dari pendidikan formal.

Ia menilai hal Ini terjadi karena tata kelola pendidikan masih lemah, terutama transparansi dan akuntabilitas, rendahnya sistem pengendalian manajemen pendidikan, terutama sistem informasi manajemen sekolah yang tidak bekerja dengan efektif, dan lemahnya efisiensi penggunaan SDM.

“Masalah-masalah ini yang harus jadi perhatian, jadi bukan malah mengurangi belanja pendidikan”, imbuhnya

Anggota Komite I DPD RI yang membidangi masalah hukum ini juga menggarisbawahi aturan-aturan terkait penyelenggaraan pendidikan di Tanah Papua.

Menurutnya, Konstitusi telah memberikan amanat yang tegas tentang penyelenggaraan pendidikan nasional. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

Selanjutnya pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga memperkuatnya.

Dalam konsep Otsus Papua dan Papua Barat, aspek pendidikan manjadi satu bagian penting dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua (OAP), baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.

Ada beberapa pasal dalam UU Otsus, Pertama, Pasal 34 ayat (3) huruf c angka (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 (UU Otsus lama) menyebutkan bahwa penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAU), terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.

Kedua, Pasal 34 ayat (3) huruf e angka (2) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2021 (UU Otsus Perubahan) menyebutkan bahwa penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional ditujukan untuk paling sedikit 30% untuk belanja pendidikan.

Ketiga, Pasal 36 UU Otsus Perubahan yang menegaskan bahwa penerimaan terkait dana perimbangan dari bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) minyak bumi dan gas alam (sebesar 70%) (disebut dengan Dana Bagi Hasil/DBH) dialokasikan sebesar 35% untuk belanja pendidikan.

“Semua dana yang besar itu semakin menunjukkan apakah benar kebijakan penurunan belanja pendidikan itu sudah tepat?”, demikian tanya Filep lagi.

“Coba kita baca juga PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua,”tandas Senator Papua Barat.

Dalam bagian Lampiran dari PP ini, tepatnya di angka 1 huruf d, menegaskan secara definitif kewenangan Pemerintah Provinsi Papua dalam hal manajemen pendidikan, yaitu menyediakan pembiayaan pendidikan yang diprioritaskan untuk menjamin setiap OAP agar memperoleh pendidikan mulai PAUD sampai pendidikan tinggi, TANPA DIPUNGUT BIAYA.

“Ini kan jelas titik afirmasinya. Jadi menjadi aneh jika kemudian belanja pendidikan diturunkan. Bahkan di beberapa aturan sebelumnya, misalnya Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, bahkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua, semua menuntut adanya affirmative actions bagi pendidikan OA,”beber Filep.

Tetapi kenapa malah belanja pendidikan dikurangi? Apakah pengurangan itu menandakan pendidikan di Papua sudah maju? Ini kan sangat ironis!

Mengakhiri wawancara, Senator Papua Barat ini berharap jangan sampai penurunan belanja pendidikan ini berimbas pada kemajuan pendidikan di Papua. (jp/rls)

- Advertisement -spot_img

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest article

Hati-hati salin tanpa izin kena UU no.28 Tentang Hak Cipta